Dhani Irawan
Jakarta - Di awal masa jabatannya, Jaksa Agung HM
Prasetyo menabuh genderang perang melawan kejahatan narkotika. Meski
sempat menunda eksekusi di akhir tahun 2014, eks Jaksa Agung Tindak
Pidana Umum (Jampidum) itu akhirnya menepati janjinya dengan
mengeksekusi 6 terpidana mati kasus narkotika.
Keenam terpidana mati yang dieksekusi itu menghadapi regu tembak di 2
lokasi berbeda dalam waktu yang hampir bersamaan pada tanggal 18 Januari
lalu. Di Nusakambangan, 5 terpidana yang dieksekusi yaitu Marco Archer
Cardoso Moreira (WN Brazil), Namaona Denis (WN Malawi), Daniel Enemuo
alias Diarrassouba Mamadou (WN Nigeria), Ang Kiem Soei alias Kim Ho
alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (WN Belanda) dan Rani Andriani alias
Melisa Aprilia (WNI). Kemudian 1 terpidana yang dieksekusi di Boyolali
yaitu Tran Thi Bich Hanh alias Asien (WN Vietnam).
Usai pelaksanaan eksekusi mati tersebut, pemerintah Belanda dan Brazil
sempat menarik duta besarnya dan meminta penjelasan. Namun riak kecil
tersebut tak sampai mengganggu hubungan antar negara tersebut. Jaksa
Agung HM Prasetyo pun menyatakan pelaksanaan eksekusi mati jalan terus.
Setelah 6 terpidana mati telah dieksekusi, masih ada sejumlah nama lain
yang juga menunggu berhadapan dengan regu tembak. Dari beberapa nama
tersebut, ada 2 nama yang menarik perhatian publik internasional yaitu
Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Keduanya merupakan WN Australia yang
tergabung dalam kelompok Bali Nine dan tertangkap karena menyelundupkan
heroin.
Meski Prasetyo belum menyebutkan secara resmi siapa saja nama-nama
terpidana mati yang akan dieksekusi, Pemerintah Australia melalui
Menteri Luar Negeri Julie Bishop dan Perdana Menteri Tony Abbott
mengintervensi pelaksanaan eksekusi tersebut. Tentunya hal ini merupakan
salah satu bentuk intervensi dalam hukum Indonesia. Padahal baik Andrew
maupun Sukumaran telah menerima penolakan grasi dari Jokowi serta
seluruh hak-hak hukumnya telah dipenuhi.
Kemudian setelah gelombang penolakan dari Australia berkembang, Sekjen
PBB Ban Ki-moon juga ikut berkomentar. Ki-moon meminta pemerintah
Australia membatalkan pelaksanaan eksekusi mati para terpidana kasus
narkotika tersebut. Semakin kuatnya tekanan, kemudian membuat Kejagung
menunda pemindahan para terpidana mati yang tersebar di beberapa daerah
itu ke Nusakambangan.
"Seharusnya minggu ini selesai tetapi ada penundaan pemindahan ke
Nusakambangan," ucap Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum)
Kejagung Tony T Spontana, Selasa (17/2) lalu. Meski begitu, Jaksa Agung HM Prasetyo berjanji bahwa pelaksanaan
eksekusi mati tetap berjalan. Mengenai penundaan pemindahan tersebut
tidak menjadi masalah krusial yang dapat menunda pelaksanaan eksekusi
mati.
Tak berhenti sampai di situ, PM Tony Abbott kembali mengeluarkan
pernyataan panas di tengah isu pelaksanaan eksekusi mati dengan
mengungkit perihal bantuan Tsunami Aceh dari Australia. Kontan saja,
pernyataan Abbott itu memantik gelombang kemarahan publik Indonesia.
Warga Aceh pun merespon dengan cara 'Koin untuk Australia'. Gerakan ini
juga merambah ke dunia maya dengan hashtag #KoinUntukAustralia dan
me-mention akun pribadi PM Tony Abbott.
Meski begitu, hingga kini Kejagung belum memastikan kapan pelaksanaan
eksekusi mati gelombang kedua ini akan dilangsungkan. Beberapa waktu
lalu, Prasetyo telah mengumpulkan para Kajati yang di daerah hukumnya
terdapat terpidana mati. Para Kajati itu mengaku telah siap dengan
pelaksanaan eksekusi mati dan menunggu perintah selanjutnya dari
Prasetyo.
0 comments:
Post a Comment